Sabtu, 26 September 2009

Usai Perang Anak- Anak Gaza Antusias Belajar Beladiri

Saleh al-Masri bocah kurus berumur 9 tahun dengan mengenakan seragam beladiri berwarna merah, memberanikan dirinya untuk berdiri dengan kaki telanjang di atas pecahan kaca sembari mengingat kembali keadaan keluarganya selama perang Gaza berkecamuk.

"Olahraga ini membuat saya kuat sehingga saya bisa mempertahankan diri saya sendiri, keluarga dan negara saya dari yahudi," katanya tanpa sedikitpun merasa kesakitan.

"Kami berlari jauh dari rumah kami selama perang karena kami takut dibunuh," ia menambahkan. "Tapi setelah kami kembali saya mulai datang kesini setiap hari untuk berlatih. Sekarang saya kuat dan saya tidak takut terhadap siapapun."

Kekejaman terhadap apa yang mereka saksikan selama serangan besar-besaran Israel di jalur Gaza pada akhir tahun lalu, menumbuhkan semangat anak-anak untuk mengikuti kelas beladiri diseluruh wilayah pesisir Gaza yang telah hancur.

Klub beladiri swasta menawarkan pelatihan Kung fu dan karate menarik banyak pelajar untuk belajar berkelahi, sebuah fenomena psikologis anak yang meluas dari perkembangan trauma mental. Beladiri yang lebih mirip ilmu 'debus' ini menjadi favorit bagi anak-anak Gaza.

Pada musim panas ini, sekumpulan pelajar muda pada sebuah klub beladiri di utara kota Beit Lahiya berkumpul serta terkagum-kagum melihat Salih al-Sawalja (15 tahun) - tidur di atas tempat tidur paku dengan dua anak laki-laki berdiri diatas dadanya.

"Tak seorangpun yang dapat mengganggu kami setelah kami menjadi seorang Kung fu Master," kata Nashaat Abu Harbid (9 tahun) dengan tatapan mata melotot. "Orang-orang akan takut kepada kami."

Sewaktu Sawalja beralih ke demo berikutnya, di mana dia akan berdiri di atas mata golok dengan kaki telajang, dia menerangkan bahwa kung fu meningkatkan kepercayaan diri dan memungkinkan dia untuk melindungi diri dari apapun.

Helmi Matar pelatih pada klub beladiri di Beit Lahiya mengatakan bahwa minat untuk berlatih beladiri meningkat setelah perang yang merenggut tidak kurang 1400 jiwa rakyat Palestina dan meninggalkan banyak kantong-kantong kemiskinan di Gaza. Anak-anak di Gaza sudah cukup dalam penderitaan ini.

Melepaskan energi yang terpendam

"Ketertarikan pada olahraga ini bertambah besar setelah perang usai karena masyarakat menginginkan adanya alternatif untuk anak-anak melepaskan energi mereka yang terpendam," ujarnya.

Seorang juru bicara persatuan Kung fu dan Karate Gaza mengkonfirmasikan bahwa adanya penambahan kelas dua kali lipat sejak perang.

Psikolog anak khawatir bahwa peningkatan ketertarikan belajar beladiri berasal dari trauma penderitaan anak-anak selama tiga minggu serangan udara dan pemboman yang terus menerus sewaktu agresi militer Israel ke Gaza.

"Anak-anak hidup dalam kekerasan selama perang dan mereka tidak dapat mengungkapkan itu, khususnya ketika mereka merasa tidak ada seorangpun dari keluarga mereka yang dapat melindungi mereka," kata Iyad Sarraj seorang psikiater dan direktur dari program kesehatan mental komunitas Gaza.

"Kekerasan demi kekerasan menyebabkan anak-anak mencoba melepaskan energi terpendam mereka selam berlatih beladiri. Mereka memlih kekerasan karena sesuai dengan situasi dan untuk meningkatkan kekuatan dan keamanan pada diri mereka."

Osama Darabih seorang anak belasan tahun dengan ikat kepala hitam melilit kepalanya, telah belajar kung fu selama tiga tahun, namun dia mengatakan dia mulai kembali berlatih setiap hari setelah perang usai.

"Ini olahraga yang berbahaya dan telah beberapa kali ada yang terluka dan terjadi kecelakaan selama latihan," katanya sambil menunggu giliran untuk sparing."Tapi kami berlatih dengan baik karena kami menyukainya. Ini dapat merileks kan dan melepaskan ketegangan kami."

Lebih dari separuh penduduk Gaza yang berjumlah 1,4 juta jiwa berumur dibawah 18 tahun dan psikolog khawatir generasi mendatang akan dijerat oleh lingkaran kekerasan yang sudah merundung wilayah itu sejak adanya peningkatan perlawanan pada tahun 2000.

Samir Zagut seorang psikolog yang bekerja dengan Sarraj mengatakan bahwa anak-anak akan tergambar dalam jiwa mereka terhadap aktivitas kekerasan yang telah mereka alami.

"Ketika anak-anak ini menaruh leher mereka atau kepala mereka pada pecahan gelas atau berbaring pada papan paku mereka berada dalam bahaya. Namun masyarakat mengulang trauma di wajahnya seperti mengambil resiko dan melakukan hal-hal berbahaya seperti itu."

Zaqut khawatir bahwa dengan mendorong minat anak-anak dalam kegiatan seperti itu, pemilik klub beladiri telah memasuki kekerasan di wilayah yang bertahun-tahun mengalami kekerasan dan telah menggores jiwa anak-anak muda.(fq/aby)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar