Sabtu, 26 September 2009

KESAKSIAN PARA PENGANUT DEMOKRASI

Ketika demokrasi yang kafir menyerang negeri kita dan disambut gembira oleh para intelektual yang rusak pemikirannya lagi tak bermoral, dan ketika demokrasi begitu dipuji oleh orang-orang yang sesat dan takluk di hadapan peradaban Barat, justru Anda akan melihat bahwa para ahli politik Eropa telah melancarkan kritik yang tajam terhadap demokrasi, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Plato. Di bawah ini sebagian kritikan dari mereka.

Michael Stewart dalam bukunya Sistem-Sistem Pemerintahan Moderen halaman 459 mengatakan :

“Kaum komunis bersikeras bahwa hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan berkreasi, berpendapat, bertingkah laku dan berkepribadian, hanyalah sebuah prinsip yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme telah mentolelir pengrusakan masyarakat –khususnya para pemudanya– melalui film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta kekejian.”

Benjamin Constan berkata :

“Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Barchmi berkata :

“Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”

Dougey berkata :

“Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”

Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :

“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”

Ulama-ulama Islam yang mengkritik demokrasi yang kafir antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha’ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata :

“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme-penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi -pada asalnya- bersifat individualistis dan etnosentris.

Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.

Bahwa demokrasi bersifat etnosentris, dikarenakan demokrasi itu sendirilah yang telah melakukan penjajahan politik dan ekonomi dalam berbagai bentuknya sejak abad XV M sampai abad XX M. Dahulu Inggris misalnya mempunyai departemen yang bernama Departemen Wilayah Jajahan dan mempunyai pula menteri yang mengelola urusan-urusan penjajahan, yaitu Menteri Wilayah Jajahan. Hal ini masih ada hingga beberapa waktu yang lalu.

Demikianlah. Politik ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang ringkasnya adalah sebagai berikut :

1. Memisahkan politik dari morak dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar prinsip-prinsip khusus.

2. Etnosentrisme, yaitu paham bahwa manusia Eropa adalah manusia yang terunggul.

3. Menjadikan sistem perwakilan sebagai cara dalam mengatur pemerintahan.

4. Menerapkan prinsip “kebebasan umum/masyarakat” dalam pengertiannya yang individualistis, tradisional, dan absolut.

5. Kebebasan ekonomi, sebagai cabang dari kecenderungan prinsip individualisme yang ekstrem.

6. Sesungguhnya demokrasi politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan. Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka dalam keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini atas nama kebebasan.”

Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :

“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan -dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya- bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan…

Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.”

Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata :

“Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”

Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :

“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”

Utsman Khalil, meskipun telah menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah (Demokrasi Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi. Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :

“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”

Jadi demokrasi adalah bid’ah dalam hal pemikiran dan politik yang diimpor dari Barat.

Di antara sedikit pemikir yang membongkar perbedaan-perbedaan substansial antara demokrasi dan sistem politik Islam adalah Anwar Al Jundi. Karena pentingnya, kami kutipkan secara panjang lebar pendapatnya dalam kitabnya Sumum Al Istisyraq wa Al Mustasyriqun fi Al Ulum Al Islamiyah halaman 96. Anwar Al Jundi mengatakan :

“Pemikiran politik Islam berbeda dengan pemikiran demokrasi Barat dalam beberapa segi :

1. Pemikiran politik Islam lebih menekankan kesatuan aqidah daripada kesatuan wilayah.

2. Pemikiran politik Islam menekankan pandangan yang menghimpun secara sempurna aspek yang material dan yang spiritual.

3. Pemikiran politik Islam bersandar pada landasan akhlaq (moral). Jadi terdapat standar moral bagi setiap aktivitas politik.

4. Jika kedaulatan dalam sistem demokrasi Barat terletak di tangan rakyat secara total, maka umat Islam dalam pemikiran politik Islaminya mengaitkan kedaulatannya dengan hukum-hukum Syariat Islam yang jauh dari hawa nafsu manusia.

5. Pemikiran politik Islam tidak dapat dinamakan sebagai pemikiran demokratis, atau pemikiran sosialistis-diktatoris. Sebab ia bertolak belakang dengan semua pemikiran itu. Jadi pemikiran politik Islam sangat jauh dari sikap ekstrem, memaksa, atau mendominasi.

6. Kedaulatan dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat –seperti sistem demokrasi– juga bukan di tangan kepala negara –seperti sistem kediktatoran–, melainkan ada dalam penerapan Syariat Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat jauh berbeda dengan sistem apa pun yang telah menyimpang itu.

7. Pemikiran politik Islam menetapkan bahwa masyarakat itu penting demi untuk kelestarian kehidupan individu, dan bahwa masyarakat tidak mungkin berjalan dengan lurus kecuali dengan adanya kekuasaan yang bertanggung untuk mewujudkan kemajuan dan kestabilan.

8. Negara dalam pemikiran politik Islam berdiri di atas dasar Undang-Undang Islami (Syariah) dan bahwa segala perundang-undang yang digunakan untuk mengatur masyarakat tidak akan dapat berlaku efektif kecuali bila mempunyai sifat sebagai penerapan dari As Sunnah An Nabawiyah dan ijtihad-ijtihad Ahlul Halli wal Aqdi. Negara harus mengawasi perilaku individu sebab negara bertanggung jawab untuk mewujudkan kebahagiaan pihak lain serta kebahagiaan dan kesatuan umat seluruhnya. Negara juga bertanggung jawab menjaga ajaran-ajaran dan tujuan-tujuan Islami.

9. Islam tidak mengakui adanya penguasa yang absolut. Sebaliknya yang diakui adalah penguasa yang dapat dipercaya (amanah) sesuai pedoman :

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam maksiat kepada Al Khalik.”

Penguasa harus melepaskan diri dari hawa nafsu, berpegang teguh dengan kebenaran dan keadilan. Umat mempunyai kebebasan untuk memilih penguasa dan mengoreksinya jika penguasa menyimpang dari kebenaran atau berbuat salah.

10. Pemikiran politik Islam menetapkan adanya kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Maka setiap orang –tentu harus tetap sesuai Syariat Islam- berhak untuk meyakini pemikiran apa saja yang dikehendaki dan tak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk meninggalkan pemikirannya itu.

11. Sistem konstitusi Islam diambil dari sumber Al Qur’anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyah dengan tiga asas, yaitu keadilan, musyawarah, dan rahmah (kasih sayang). Dalam hubungannya dengan undang-undang internasional, Al Qur’an Al Karim dipandang sebagai hukum pertama yang menyerukan persamaan di antara umat manusia.

12. Sesungguhnya keluwesan Syariat Islam dan kemungkiannya untuk berkembang, harus tetap berpegang pada dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah), tujuan-tujuan syariah (maqashid asy syariah), dan prinsip-prinsip umum syariah (kulliyatu asy syariah). Jadi jelas ada perbedaan antara yang konstruktif dan yang destruktif, antara perkembangan dengan penyesuaian (dengan hawa nafsu). Tidak diragukan lagi bahwa ada bagian dari hukum-hukum Syariat Islam yang tidak menerima perkembangan dan bahwa hukum yang telah ditetapkan dalam nash tidak boleh ditinggalkan atau diganti penerapannya sampai kapan pun. Jadi pemeliharaan terhadap kemaslahatan bukanlah perkara yang tidak mempunyai batasan, melainkan harus tetap berpatokan dengan dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah). Secara umum dapat dikatakan bahwa jika dalam suatu hukum terdapat nash, maka nash itu wajib diikuti. Jika hukum itu berupa perkara yang diqiyaskan (pada suatu hukum), maka kita terikat dengan qiyas itu. Tetapi jika tidak terdapat nash, kita mempertimbangkan kemaslahatan yang ditunjukkan syara’ (mashalih asy syar’i) dengan tetap berpegang pada prinsip memelihara lima tujuan syariat yang dharuri (penting, harus) (dharurat al khams), menolak kesulitan (daf’ul haraj), dan mewujudkan manfaat (tahqiq al manafi’).

13. Sistem politik Islam berbeda dengan dengan dua sistem politik lainnya, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sebab sistem kapitalisme membatasi tujuannya pada pemeliharaan kebebasan individu dan hak-hak pribadi, sedang sistem sosialisme membatasi tujuannya pada pencegahan perjuangan kelas dan ekspolitasi kelas.

14. Pemikiran politik Islam tidak memberikan hak/otoritas dalam kekuasaan kepada penguasa, tetapi sebaliknya kekuasaan dianggap sebagai hak umat semata melalui syura yang Islami oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Islam tidak melarang perempuan untuk turut berpendapat dalam masalah-masalah umum (publik). Namun Islam mengharamkan budak untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dan bermusyawarah.

15. Pemikiran politik Islam menolak istilah-istilah demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan tidak mengkaitkannya dengan Islam. Islam memandang pemikiran-pemikiran itu sebagai aliran-aliran pemikiran (mazhab) yang asing yang sangat jelas perbedaannya dengan pemikiran Islam yang komprehensif. Ketika Barat menggunakan istilah-istilah itu, yang hadir dalam benak mereka adalah peristiwa-peristiwa sejarah Barat, situasi dan kondisi yang terjadi di Barat, dan tantangan-tantangan yang dihadapi Barat.

16. Perbedaan sifat-sifat khas antara negara Islam dan negara moderen akan mengungkapkan adanya sistem unik yang khas bagi negara Islam, yang tidak terdapat dalam sistem mana pun dari sistem-sistem pemerintahan moderen. Pilar utama negara Islam adalah pengkaitan agama dengan negara

17. Perjanjian (kontrak) politik Islam adalah kesepakatan politik antara penguasa dengan rakyat. Perjanjian politik dalam Islam didasarkan pada pemikiran-pemikiran dasar yang merdeka, yang tidak kalah pentingnya dengan pemikiran-pemikiran politik moderen, yaitu yang terpenting adalah kemerdekaan untuk memilih (dari pihak rakyat), dan kesepakatan dari pihak penguasa (atau khalifah) untuk memegang kekuasaan sebagai wakil dari umat. Dari sini diketahui bahwa teori perjanjian politik Islam sebenarnya mendahului teori-teori J.J.Rousseau dan John Locke.

Musyawarah Sama Dengan Demokrasi?

Hal lain yang perlu disinggung, adalah anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi. Pandangan ini telah masyhur dan sudah lama adanya, meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul “Negara Nasional dan Cita-Cita Islam” di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.

Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan,”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] …”

Untuk memperjelas masalah ini, yakni bahwa syura (musyawarah) sebenarnya bukanlah demokrasi, akan diuraikan dua hal utama, yaitu : (1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan (2) perbedaan fundamental antara syura dengan demokrasi.

Hakikat Syura

Menurut pengertian bahasa, syura adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syaawara (Zallum, 2002:216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibnu Manzhur, dalam Lisan Al-’Arab, Jilid II hal. 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhraj al-’asl min qursh asy-syama’), memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-amah wa al-daabbah ‘inda asy-syira’), menampakkan diri dalam medan perang (isti’radh an-nafs f imaydan al-qital), dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980:141; Zallum, 2002:216).

Adapun menurut pengertian syariat –yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah– syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’y[i]) (An-Nabhani, 1994:246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyaar) (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyurah (An-Nabhani, 2001:111) atau at-tasyaawur (An-Nabhani, 1994:246).

Taqiyuddin An-Nabhani (1994:246) mengatakan bahwa syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (qa’id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (shahib ash-shalahiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara suami isteri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (lihat QS Al-Baqarah : 233). Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan formal dilaksanakan dalam Majelis Ummat, yang merupakan lembaga wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap khalifah (Zallum, 2002:222). Maka fungsinya antara lain melakukan musyawarah dengan khalifah. Namun Majelis Ummat dalam negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi (tabanni) hukum syara’ dari sejumlah hukum syara’ yang ada dalam satu masalah untuk mengatur urusan rakyat, hanya menjadi otoritas khalifah, bukan yang lain (Zallum, 2002:44).

Hukum melakukan syura menurut Abdul Qadim Zallum adalah mandub, bukan wajib (2002:217-218). Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan perintah Allah SWT kepada Rasulullah SWT untuk melakukan syura dalam Al-Qur’an surat Ali Imran : 159, adalah perintah mandub, bukan perintah wajib. Mereka itu misalnya Ibn Jarir Ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruhul Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf. I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, IV/249-252), dan Ibnul ‘Arabi (Ahkamul Qur’an, I/298).

Jadi, meskipun ada tuntutan (thalab) dari Al-Qur’an untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa “wa syaawir hum fil amri” (bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali ‘Imraan : 159), tetapi ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan tuntutan tersebut bukan tuntutan pasti (thalab jazim) –yang kesimpulan hukumnya wajib– melainkan tuntutan tidak pasti (thalab ghayr jazim), yang kesimpulan hukumnya mandub. Qarinah tersebut antara lain, bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa “fa idza azamta fatawakkal ‘ala-llah” (kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan ‘azam (tekad bulat) -yaitu maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan- hanya kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Karenanya, dalam banyak kebijakannya, Rasul mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), pengangkatan para qadhi (hakim), para sekretaris (kuttab), dan para pemimpian sariyah dan pasukan, juga penandatanganan gencatan senjata, dan sebagainya (Zallum, 2002:217-218). Ini menunjukkan syura adalah mandub, bukan wajib. Yang melakukannya akan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak berdosa.

Siapa yang berhak melakukan syura? Syura sesungguhnya adalah hak kaum muslimin semata. Artinya, pihak pemegang kewenangan (shahib ash-shalahiyah), seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia tidak mengambilnya kecuali dari kaum muslimin. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir, meskipun boleh (ja’iz) orang kafir menyampaikan pendapat (ibda’ ar-ra’y) kepada orang Islam dan boleh kaum muslimin mendengarkan pendapat (sama’ ar-ra’y) dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001:111). Kekhususan syura hanya untuk kaum muslimin, ditunjukkan misalnya oleh firman Allah SWT :

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka…” (QS Ali Imran [3] : 159)

Ayat ini menunjukkan menunjukkan bahwa sikap-sikap Rasul, seperti memohonkan ampunan kepada Allah, tidak mungkin beliau lakukan, kecuali bagi kaum muslimin. Sebab, Allah telah melarang Rasul memintakan ampunan kepada orang musyrik (Lihat QS At-Taubah : 113). Maka, demikian pula, bermusyawarah juga tidaklah dilakukan Rasul, kecuali dengan kaum muslimin (An-Nabhani, 1994:247).

Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritas-lah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sedangkan dalam syura, kriteria pendapat yang diambil tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, adalah sebagai berikut :

Pertama, dalam masalah penentuan hukum syara’ (at-tasyri’), kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara’ (nash Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri’ , The Law Giver) hanyalah Allah SWT, bukan umat atau rakyat. Sedang pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara’ dalam sistem Khilafah, adalah khalifah saja. Bukan Majelis Ummat. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara’ yang akan dilegislasikannya, meskipun hal ini boleh dia lakukan. Jika khalifah meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara’ yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Ummat tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas.

Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ

“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari, VI/276; Shahih Muslim XII/141; Majma’ Az-Zawa’id wa Manba’ Al-Fawa’id, V/225)

Kedua, Dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Jadi, masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikianlah seterusnya.

Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar -yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis- yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut (Lihat kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sirah Ibnu Hisyam, II/272; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/15; Tarikh Ibnu Khaldun, II/751; As-Sirah li Ibn Katsir, II/380-402).

Ketiga, masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.

Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat -khususnya para pemudanya- berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy (Lihat kisah Perang Uhud ini selengkapnya dalam Sirah Ibnu Hisyam, III/67; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/38; Tarikh Ibnu Khaldun, II/765; Zadul Ma’ad, II/62; Fathul Bari, XVII/103).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar