Sabtu, 26 September 2009

Penumpasan Terorisme Yang Pincang dan Penuh Kejanggalan

Terbunuhnya seseorang yang diklaim sebagai Nordin M. Top oleh aparat keamanan di desa Kepuhsari Mojosongo Jebres, menjadikan sedikit masyarakat bernafas lega. Lega karena akan menurunnya intensitas aksi aksi pembom-an yang acak (random target bombing), dan lega akan mulai mengendurnya stigmatisasi 'proyek' terorisme yang disematkan ke tubuh ummat Islam.

Meski diakui, banyak masyarakat yang terjebak dalam stigmatisasi subyektif terhadap terorisme tersebut -serta menutup mata terhadap fakta tersembunyi- entah karena takut untuk dikaitkan, ataukah sebab lain yang terjadi. Anshad Mbai (kepala desk antiteror) mengungkapkan teror belum tentu selesai.

Noordin, mungkin, tidak tergantikan dalam soal karismanya. Masih banyak tokoh yang buron (DPO), Syaifudin Jaelani, yang dikenal memiliki kemampuan yang baik untuk memengaruhi, mertua Nordin Bahruddin yang masih bebas, dan kelompok poso

1. DEFINISI TERORISME YANG ABSURD

sebelum kita berbicara tentang terorisme yang bukan merupakan perkara kriminal semata, marilah kita definisikan terlebih dahulu makna terorisme yang ada. Menurut
Wikipedia, Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak.

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif [Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.].

Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi [IMuhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 35.].

Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut [Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hal.19.].

DEFINISI AMERIKA TERHADAP TERORISME

Dr. Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Sihbudi[M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Mizan Bandung, 1991, hlm. 94.
], mendefinisikan terorisme sebagai :

(a) Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material;
(b) Sebuah pemaksaan tingkah laku lain;
(c) Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas;
(d) Tindakan kriminal bertujuan politis;
(e) Kekerasan bermotifkan politis; dan
(f) Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.

Jika definisi tersebut dipakai, menurut Riza, maka perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki "biang teroris" karena memproduksi senjata pemusnah massal seperti peluru kendali.

Sementara Encyclopedia Americana [
Glorier Incorporated, USA, 1993
] menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.

Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada aksi-aksi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan "teror" merujuk pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara "terorisme" dan "teror" tidak selalu jelas.

Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky [
Menguak Tabir Terorisme Internasional, Mizan Bandung, 1991, hlm. 19-20.
], mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.

Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi "pembalasan"
(retaliation)
.

Mengemukakan perbedaan pendapat
mengenai siapa yang dianggap teroris, Martin Indyk, mantan Duta Besar Amerika di Israel yang sekarang menjadi analis senior Lembaga Brookings mencontohkan konflik Israel Palestina. Menurutnya, orang yang dianggap teroris oleh Israel, adalah pejuang kemerdekaan bagi orang Palestina.

Laporan Ariel Cohen –yang pernah tinggal di Israel selama sebelas tahun dan lulusan Bar Ilan University Law School di Tel Aviv– dipublikasikan oleh the Heritage Foundation yang dikenal luas sebagai think-tank Konservatif yang dekat dengan kelompok neo-Konservatif. Sementara Zeyno Baran –Direktur Program Energi dan Keamanan Internasional Nixon Centre– ternyata memiliki hubungan yang dekat dengan perusahan-perusahan minyak AS yang beroperasi di Asia Tengah dan rezim otoriter di Asia Tengah (lihat, Who is Zeyno Baran, www.khilafah.com) .Wajar kalau kemudian banyak muncul ketidakakuratan, inkonsistensi, generalisasi keliru, bahkan kebohongan dalam tulisan-tulisan tersebut. Alhasil definisi terorisme -yang dimainkan oleh barat- tidak lain adalah untuk melanggengkan dominasinya di negara lain, khususnya untuk kepentingan ekonomi, hukum, dan politik.

Dalam pernyataannya pada pertemuan ke 89 legiun veteran Amerika di Reno, Nevada, (28/08/2007), Presiden Bush mencoba untuk menghubungkan perjuangan Khilafah dengan aksi kekerasan, terutama yang terjadi di Irak.

"Para ekstrimis ini berharap untuk menentukan visi gelap yang sama di sepanjang Timur Tengah dengan menegakkan sebuah kekerasan dan khilafah radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia." ("These extremists hope to impose that same dark vision across the Middle East by raising up a violent and radical caliphate that spans from Spain to Indonesia.")

Mengapa Definisi Ini Dibiarkan Kabur

Dalam buku Teroris Melawan Teroris, Abu Umar Basyir, PBB telah menerbitkan beberapa resolusi –dalam jangka waktu yang sangat singkat—yang menyatakan perang terhadap terorisme dan para teroris. Namun pernyataan perang ini tanpa disertai definisi, sifat, jenis, dan bentuk teror yang hendak diperanginya. Selanjutnya lembaga itu mengharuskan seluruh Negara anggotanya menyepakati perang terhadap terror tersebut. (halaman 43)

1. Pendefinisian terorisme yang harus diperangi serta pembatasan ciri-ciri dan sifatnya akan menjadikan semua yang berada di luar definisi dan ciri-ciri ini tidak termasuk terorisme. Semua yang bergerak diluar lingkup definisi dan ciri-ciri –khususnya dari kalangan Islamis—tidak mungkin diburu dengan tuduhan sebagai teroris. Berbagai aktifitas yang dilakukannya tidak mungkin dikategorikan sebagai aktifitas terorisme. Mereka tidak ingin hal semacam ini terjadi!

2. Pendefinisian terorisme yang harus diperangi bisa jadi akan dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia –yang jumlahnya sangat banyak—dalam perjuangan mereka untuk memerdekakan diri dari penjajahan dan kedzoliman kaum imperalis penjajah. Hal itu disebabkan gerakan-gerakan tersebut beraktifitas di luar kerangka terorisme yang disepakati untuk dihukum. Mereka juga tidak ingin hal semacam ini terjadi!

3. Pendefinisian terorisme yang harus diperangi dan disepakati, akan mencegah banyak Negara agresor untuk melakukan berbagai bentuk yang dikehendakinya terhadap bangsa-bangsa lemah, khususnya Amerika Serikat sebagai pelindung terorisme internasional dan anak tirinya, Zionis Yahudi. Mereka tidak menginginkan hal in terjadi!

Pengaburan definisi terorisme yang harus diperangi ini akan menjadikan kekuatan-kekuatan adidaya dan tirani dimuka bumi ini –dalam skala luas—untuk melakukan campur tangan terhadap urusan Negara dan bangsa lain, serta menggunakan teror berskala luas dengan atas nama “Perang Terhadap Terorisme” dan “Pembururan Terhadap Para Teroris”!

Pengaburan definisi terorisme juga bisa menjadikan istilah ini seperti karet yang bisa dibentuk sesuai kemauan para politikus yang berkuasa. Mereka bisa memasukkan siapa saja yang mereka kehendaki ke dalam golongan teroris dan dibawah payung perburuan terhadap para teroris, sekalipun sebenarnya orang tersebut bukan teroris. Sebaliknya mereka bisa mengeluarkan siapa saja yang mereka kehendaki dari lingkaran terorisme, sekalipun ia benar-benar dan terbukti sebagai seorang teroris dan penjahat!

4. Pendefinisian makna terorisme yang harus diperangi bisa jadi akan menampakkan bahwa jihad dan perlawanan rakyat Palestina terhadap Zionis Yahudi sebagai sebuah perjuangan legal yang tidak termasuk kategori terorisme. Ini berarti merupakan pengakuan tidak langsung bahwa Negara Zionis Yahudi merupakan Negara penjajah dan penjarah hak-hak bangsa lain, tidak memiliki legalitas, layak dilawan dan diperangi hingga mereka benar-benar terusir. Mereka tidak menginginkan hal ini terjadi, sama sekali!

5. Pendefinisian makna terorisme dan kesepakatan internasional mengenainya akan memunculkan konsekuensi dipersalahkannya Negara-negara agressor yang menggunakan semua jenis terorisme.

Tanggal 29 Oktober 2002 muncul sebuah dokumen CIA yang menyebutkan, bahwa akar terorisme adalah ketidakstabilan di Afganistan, usaha Iran dan Suriah untuk membangun persenjataan, memburuknya konflik Israel-Palestina, dan generasi muda yang menggeliat di negara-negara berkembang yang sistem ekonomi dan ideologi politiknya di bawah tekanan yang berat.

Mantan Menlu RI Ali Alatas pernah menyatakan, "Terorisme bisa berawal dari ketidakadilan, juga rasa ketidakadilan secara ekonomi dan politis."

Kita bertanya,
(1) siapa yang menciptakan ketidakstabilan di Afghanistan?
(2) Mengapa Suriah dan Iran membangun persenjataan?
(3) Kenapa konflik Israel-Palestina memburuk?
(4) Kenapa generasi muda menggeliat dalam situasi ekonomi dan ideologi yang tertekan?

Kita tahu jawabannya. Afghanistan tidak stabil karena AS tidak ingin ada rezim Islam yang kuat di sana. Suriah dan Iran membangun persenjataan karena merasa terancam oleh kehadiran Israel yang didukung penuh AS. Konflik Israel-Palestina memburuk karena AS selalu berada di belakang Israel. Kaum muda di negara-negara berkembang, khususnya negara Muslim, melakukan perlawanan karena mereka menyadari kuatnya kendali AS terhadap penguasa.

Singkatnya, dari arah mana pun kita mencari akar terorisme, kita akan menemukan penyebab utamanya adalah Amerika Serikat. Wajar, jika dunia akan aman-damai jika kekuatan AS lemah, bahkan hancur, dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi acuan peradaban dunia, bukan materialisme-kapitalisme yang selama ini dicekokkan AS kepada warga dunia.


2. Melebarkan Permasalahan kepada unsur ideologi (abstrak, subjektif)

Secara gegabah, definisi terorisme mulai menyandang gelar dan diarahkan kepada hal hal yang bersifat ideologi (abstrak, subyektif). Demikian pernyataan Ansyad Mbai (kepala desk anti teror kepada kompas, Jumat (18/9) "Terorisme itu penyebab utama atau sumber utamanya adalah ideologi radikal atas nama agama. Ideologi ini belum mati dan masih marak. Inilah yang menjadi 'ibu kandung' gerakan radikalisme itu,"

Gerakan radikalisme ini, menurutnya tak hanya bersifat nasional, tetapi transnasional. Keinginan ekstrimnya adalah mendirikan negara agama dan berpaham apa yang mereka yakini adalah yang paling benar. "Maka, kita semua harus tetap waspada," kata dia.

Pernyataan tersebut sejatinya berdampak massif terhadap ideologi (baca, kebebasan berpendapat) yang (katanya) dilindungi oleh undang-undang. Bola liar menjadi semakin lebar dan akan dihantamkan kepada pihak pihak tertentu yang melawan kebijakan politik kelompok tertentu.

Definisi Ideologi

Menurut wikipedia, Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.

Ideologi dari masing masing negara tentulah membawa perubahan bagi masyarakat tertentu. Namun ketika mengkaitkan ideologi dengan perkara kriminal merupakan sesuatu yang berbahaya. Sama halnya dengan pemikiran, ideologi tidak mungkin dapat dilawan dengan kekerasan fisik. Ideologi dilawan dengan ideologi. Perubahan mendasar terhadap sumber penyebab permasalahan dan menjadikan akar permasalahan sebagai musuh utama.

Bagi para teroris, aktifitas teror merupakan salah bentuk perlawanan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas oleh suatu negara, bangsa ataupun elit kekuasaan (rezim). Kita harus berpikir jernih bahwa jika ada asap pasti ada api . Bangsa-bangsa amerika, israel dan eropa pada hakikatnya melakukan teror yang lebih besar dan biadap dibandingkan teroris yang ada sekarang (terorisme state). Amerika dan eropa melakukan teror mengunakan kekuatan negara dan senjata yang mereka punyai, jadi wajar jika korban aksi dan kebijaksanaan mereka membalas dengan aksi teror yang serupa walaupun daya dan akibatnya lebih kecil.

Ibarat hukum alam jika ada aksi pasti akan ada reaksi. Amerika dan eropa, israel dan australia, serta pihak pihak yang menyebarkan ketidak adilan harus introspeksi apa yang salah dari tindakan yang mereka lakukan selama ini, karena inilah jalan terbaik membendung teror untuk masa-masa yang akan datang. Bukan melawan ideologi dengan aktifitas fisik

Pernyataan Wapres di depan peserta Kursus Reguler Angkatan ke-38 Lemhannas seharusnya dicermati ketika terjadinya pemberontakan, konflik, sejumlah aksi terorisme di Indonesia, adalah karena masalah ketidakadilan perlakuan. Baik ketidakadilan secara ekonomi maupun sosial (Selasa 22/11). Hal yang sama juga sebenarnya menjadi alasan utama dari kelompok-kelompok yang melakukan aksi pengeboman di Indonesia. Bagi mereka, ini merupakan serangan balasan terhadap penindasan yang dilakukan oleh negara seperti AS dan Inggris terhadap Irak dan Afghanistan. Termasuk di dalamnya adalah dukungan Barat terhadap rezim-rezim yang menindas umat Islam di Palestina, Moro, dan Pattani.

Wali Kota London, Ken Livingstone, secara jujur mengakui hal itu. Menurutnya, pendudukan oleh asing tanpa melihat sisi kemanusiaan, mengekang segala hak manusia, hanya melahirkan orang-orang yang akan melakukan bom bunuh diri (CNN, Kamis, 11/7/2005).

Karena itu, meluruskan aplikasi jihad yang keliru tanpa menyinggung motif perlawanan kelompok-kelompok ini, tidak akan menyelesaikan masalah. Bisa-bisa pemerintah termasuk para ulama dicap sebagai pengkhianat, karena telah melegalkan penjajahan negara-negara Barat.

3. TIDAK MENGKAITKAN DENGAN KRIMINALITAS SECARA UTUH

Definisi yang absurd terhadap terorisme, falsafah subyektif tentang terorisme secara jujur sering melatar belakangi aktifitas perang melawan terorisme. Sebut saja penanganan terorisme di dunia yang masih subyektif dan tidak mengkaitkannya dengan kriminal secara utuh. Contohnya di Skotlandia, seseorang yang mengancam untuk meledakkan sebuah masjid agung glasgow akhirnya lolos dari semua dakwaan (republika, 15/04/2009),. Demikian pula lolosnya pembuat film rasis penyebar fitnah "FITNA" Geer Wilders.

Didalam negeri, pengungkapan kasus penghinaan agama sering tidak berakhir secara utuh. Sebut saja penghinaan yang dilakukan oleh blog lapotuak beberapa waktu silam, forum IIF (indonesia faith freeedom), dan aktifitas aktifitas lain atas nama kebebasan berpendapat.

4. PASAL KARET DAN KEPENTINGAN POLITIK

Banyak pihak menyayangkan, penanganan terorisme yang tidak utuh ini potensi dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu (minimal pengalihan isu). Koordinator Divisi Eksternal Imparsial Poenky Indarti, Senin (17/8) menyatakan pelibatan aparat intelijen non-judicial ke dalam kehidupan untuk penegakkan hukum, telah menimbulkan implikasi yang sangat serius dengan terancamnya jaminan atas kebebasan sipil dan agenda demokratisasi di Indonesia.Perang melawan terorisme justru memunculkan persoalan baru yang jauh lebih serius, respon pemerintah terhadap terorisme dan aksi-aksi teror yang terjadi justru semakin memperbesar kewenangan negara karena itu perlu dilakukan evaluasi dalam penanganannya.

Pasal-pasal karet dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki potensi nyata untuk menghambat kebebasan pers. Sebab, pasal itu dapat dengan mudah ditafsirkan. "Dan dapat dengan mudah disalahgunakan oleh penguasa," kata R.H. Siregar, pengurus dewan pers, dalam diskusi "Perpu Anti terorisme dan Dampaknya terhadap Kebebasan Pers," di Jakarta, Jumat (15/11).

"Insan pers sudah sangat trauma dengan penyalahgunaan wewenang penguasa selama 30 tahun terakhir," kata Siregar. Menurutnya, paling tidak ada sekitar 6 pasal dari perpu itu yang bisa digunakan oleh penguasa untuk mengancam kemerdekaan pers. Pasal-pasal itu adalah Pasal 6, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 18, Pasal 20, dan Pasal 27. Dalam diskusi ini hadir Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM Abdul Gani Abdullah, Ishak Latuconsina, anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri, dan Ketua Dewan Pers Atmakusumah.

Dalam makalahnya, Siregar menjelaskan potensi bahaya yang dikandung oleh pasal-pasal karet itu. Pasal 6 tidak secara tegas menyatakan kriteria jenis tindak kekerasan yang dimaksud sehingga ini rawan terhadap banyak penafsiran. Pasal 14 juga mengandung kelemahan yang sama karena tidak secara spesifik menjelaskan kapan seseorang dapat dikategorikan "merencanakan dan mengerakkan". "Ketentuan yang tidak limitatif sangat merugikan dan sangat mudah disalahgunakan," kata dia.

Pasal 20, kata Siregar, tidak mendefinisikan secara jelas makna kata "mengintimidasi" sehingga hal ini mudah digunakan oleh penguasa untuk menuduh seseorang melakukan tindak pidana terorisme, terutama pers, dengan pemberitaannya.

Sementara itu, Pasal 13 huruf C, menimbulkan tafsiran adanya larangan menyembunyikan informasi. Pasal ini bisa bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, yang memberikan jaminan penuh terhadap bentuk-bentuk ekspresi penyampaian pendapat. Pasal itu juga bisa bermasalah dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang jaminan kebebasan pers.

Pada Pasal 4 ayat 4 pada UU Pers, wartawan dijamin haknya untuk menolak mengungkapkan identitas sumber informasinya. "Padahal perpu melarang setiap orang untuk menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme," kata Siregar.

Peristiwa Bom Bali tahun 2002 menjadi pemicu bagi keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1/2003 yang kemudian ditetapkan sebagai UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan proses perumusan dan pembahasan yang singkat, UU tersebut memiliki beberapa kelemahan substansial.

Poenky mengatakan, definisi yang longgar dan rumusan pasal yang bersifat karet akan membuka peluang bagi multi interpretasi, bahkan penyalahgunaan kekuasaan melalui penafsiran tertentu.

Dalam pasal 6 dan 7, tidak jelas apa yang dimaksud dengan "suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas" serta "obyek-obyek vital yang strategis".

"Rumusan pasal yang bersifat karet terlihat berupa penggunaan kata bukti permulaan yang cukup dalam pasal 26, 28 dan 31, kata-kata menggerakkan di pasal 14, mengintimidasi dan proses peradilan menjadi terganggu pada pasal 20 dan kata tidak langsung pada pasal 22. Dengan ketidakjelasan tersebut, maka UU ini menjadi teror tersendiri bagi masyarakat dalam bertindak," jelasnya.

Begitu juga dengan tindakan penyadapan telepon atau alat komunikasi lain serta penyitaan surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya, yang semata-mata berdasarkan laporan intelijen seperti dalam Pasal 31 ayat 1. Poengky berpendapat, hal tersebut berpotensi menjadi ancaman hak-hak individual.

"Tindakan penyadapan dan penyitaan tersebut memang harus melalui ijin/perintah dari Ketua Pengadilan Negeri, namun harus ada prasyarat yang lebih jelas, tidak bisa hanya berupa bukti permulaan yang dapat diperoleh dari laporan intelijen," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim meminta masyarakat menghentikan pemberian stigma kepada seseorang yang salah satu anggota keluarganya menjadi tersangka dalam kasus terorisme.

Menurut Komnas HAM, akibat stigma teroris itu tidak jarang masyarakat menolak keluarga tersangka untuk tinggal di lingkungan mereka. Padahal, seringkali tersebut seseorang tidak mengetahui aktivitas tersembunyi anggota keluarganya. Seperti yang dialami oleh munfiatun, seorang wanita yang sempat dinikahi oleh Nordin M. Top dan divonis menyembunyikan tersangka teroris (pasal 13 b dan c UU No. 15/2003) (Dalam dakwaan bernomer perkara PDM-014/BNGIL/Ep.1/I/2005).

Sebelumnya, Pengamat Intelijen Wawan Purwanto menegaskan, meski publik masih trauma, tapi UU Anti Subversif perlu dihidupkan lagi untuk mencegah ancaman terorisme dan separatisme. “UU ini memang masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat, karena penangkapan bisa dilakukan di mana-mana terhadap siapa saja yang dianggap mencurigakan,” tandasnya di Jakarta, Senin (27/7/09).

Dewan pengurus LP3SU, Zamzami Umar
mengungkapkan ada semacam kepentingan tertentu untuk mempertahankan kekuasaan. Artinya, kalau dihidupkan kembali UU tersebut, maka demokrasi yang sudah tertata dengan rapi akan menjadi dampak terhadap matinya demokrasi di Indonesia.

5. KEJANGGALAN-KEJANGGALAN

Berikut kejanggalan-kejanggalan terhadap Perang Melawan Terorisme

a. Menghindari upaya penangkapan hidup hidup terhadap tersangka terorisme, baik menggunakan gas air mata, nitrogen muda, maupun penggunaan peluru bius/peluru karet.

b. Kurang transparansinya proses penangkapan tersangka, dan keengganan membentuk tim investigasi independent terhadap 2 peristiwa yaitu Temanggung, dan Solo.

c. Penghukuman media terhadap tersangka (diduga) teroris dan tidak mengindahkan secara faktual asas praduga tak bersalah hingga proses pengadilan berjalan. Perlu dimaklumi, proses penyidikan aparat terhadap pelaku kriminal belum menjadikan sebuah asumsi (stigma) terhadap pelaku. Aparat bukanlah lembaga peradilan yang memutuskan bersalah/ tidaknya seorang tersangka kriminal.

Namun sayang, lembaga peradilan pun saat ini tidak menjamin penegakan hukum secara adil, dan obyektif. Tidak tanggung-tanggung, selama tiga tahun berturut-turut (2005-2007) hasil survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia menunjukkan bahwa lembaga peradilan dan kepolisian masuk dalam tiga besar lembaga terkorup di Indonesia. Terlepas dari perdebatan metodologisnya, pendekatan ilmiah dalam melihat problem korupsi di Indonesia ini semestinya sudah cukup untuk menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan reformasi di tubuh lembaga peradilan. Namun dengan tidak adanya tekanan vertikal dan lemahnya determinasi eksekutif, hasil kajian ini diabaikan dan bahkan malah ditolak serta dianggap mencemarkan nama baik kepolisian.

d. Berulang kali kontras menyerukan kepada aparat untuk melakukan uji balistik independent terhadap berbagai peristiwa yang melanggar HAM. Termasuk dalam peristiwa ekseskusi pelaku teror.
Abu Aisyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar