Sabtu, 26 September 2009

Jurus Cuci Tangan ala Polisi

Untuk menghadapi serangan beruntun dari berbagai arah, jurus cuci tangan dan buang badan biasanya dipakai sebagai jurus pamungkas di dunia kangouw. Selain untuk berkelit, jurus ini cukup ampuh untuk menyelamatkan muka. Hal itu pula yang ditunjukkan Kapolri, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, dalam sebuah konferensi pers di Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin, 24 Agustus 2009 lalu.

Sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut Mabes Polri menuai kecaman berbagai partai, ormas Islam, tokoh, ulama, kiai, ustadz dan habaib. Semua gara-gara rencana operasi pengawasan dan pemantauan dakwah selama Ramadhan. Rencana operasi itu disinggung dalam konferensi pers Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna, di Divisi Humas Mabes Polri, 21 Agustus 2009.

Saking gawatnya, Kapolri merasa perlu didampingi Menteri Agama Maftuch Basyuni dan Menteri Negara Kominfo Muhammad Nuh. Semua itu untuk memperkuat dan memperbesar efek jurus cuci tangan dan buang badan tadi. Pada konferensi pers itu, Bambang mengaku tak pernah memerintahkan pengawasan dakwah di bulan Ramadhan. “Ini tak pernah dinyatakan siapapun, tidak ada dan tak pernah ada perintah kebijakan ini disampaikan Polri,” ujarnya.

Padahal, dalam konferensi pers di Divisi Humas tiga hari sebelumnya, Nanan jelas mengatakan bahwa polisi akan mengikuti, memantau dan merekam dakwah Ramadhan. Keterangan dia berawal dari pertanyaan wartawan tentang penangkapan 17 warga Filipina di Jawa Tengah. Kata Nanan, mereka ditahan karena melanggar aturan imigrasi. Setelah itu, ia menjelaskan bahwa Polri akan menggelar operasi bertajuk Operasi Cipta Kondisi.

Menurut Nanan, dalam Operasi Cipta Kondisi, Mabes Polri memberikan kewenangan penuh di tingkat kepala satuan wilayah untuk mengawasi dakwah Ramadhan. Polisi, kata dia, akan mengikuti, memantau, dan merekam dakwah atau ceramah. Jika ceramah itu terbukti memprovokasi massa untuk bertindak melanggar hukum, polisi akan bertindak. “Polisi tidak akan melarang tausiyah, ceramah, dakwah, tapi polisi akan nempel di situ,” kata Nanan.

Operasi ini, kata bekas Kapolda Sumatera Utara yang dicopot pasca unjuk rasa pemekaran wilayah yang berujung kematian Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat itu, untuk meminimalisir dakwah yang bersifat provokasi pada tindakan terorisme. “Operasi ini sebelum Operasi Ketupat,” kata Nanan kepada wartawan. Menurut dia, operasi ini adalah operasi kemanusiaan, agar umat Islam dapat beribadah puasa dengan tenang dan tentram.

Tak hanya Nanan, langkah dan komentar beberapa pejabat keamanan juga cukup memerahkan kuping ummat Islam. Pertama soal penangkapan 17 anggota Jamaah Tabligh dari Filipina yang sedang khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid). Selama beberapa hari mereka ditahan dan diperiksa di Markas Polda Jawa Tengah. “Sembilan orang ditangkap di Purbalingga dan delapan di Solo,” kata Kapolda Jawa Tengah, Irjen Alex Bambang Riatmojo. Menurut dia, mereka ditahan karena menyalahi izin visa.

Ketujuh belas anggota Jamaah Tabligh itu tiba di Jakarta pada 3 Agustus. Mereka lalu ke Purbalingga dan Solo pada 6 Agustus. “Mereka kami tahan untuk dimintai keterangan,” ujarnya. Soal penangkapan anggota Jamaah Tabligh itu, Alex mengaku sedang berkoordinasi dengan Departemen Agama. “Kami sedang meminta penjelasan, mana ajaran yang boleh dan mana yang tidak boleh,” kata perwira polisi beragama Kristen itu.

Tiga hari sebelum Nanan, Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Haryadi Soetanto menghimbau masyarakat untuk mewaspadai orang berjenggot dan bersorban. Pernyataan dia juga terkait dengan penangkapan 17 orang anggota Jamaah Tabligh asal Filipina itu. “Jika ada orang asing memakai sorban, jubah serta berjenggot, laporkan ke pihak keamanan,” kata Haryadi. Menurut dia, masyarakat harus lebih peka terhadap hal-hal seperti itu.

Kata Haryadi, masyarakat Indonesia terlalu longgar. Pengamanan sudah dilakukan, tapi kesadaran masyarakat terhadap ancaman teror bom terlalu rendah. Berulang kali terjadi pemboman tapi masyarakat menganggapnya sebagai hal biasa. “Kepekaan terhadap ancaman teror terlalu rendah,” ujarnya. Penyerbuan polisi di rumah Muh Djahri di Temanggung, kata dia, tak perlu terjadi jika masyarakat berperan aktif dan peka terhadap ancaman “terorisme”.

Kecurigaan aparat keamanan itu memang terkait dengan serangan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Charlton pada 17 Juli 2009. Sebab aparat dianggap kecolongan. Beberapa operasi pun digelar, seperti di Temanggung dan Jatiasih, Bekasi. Namun, polisi dan media lalu mengasosiasikan bahwa para pelaku pemboman adalah umat Islam yang taat beribadah, memelihara jenggot, bercelana ngatung, dan berjubah sementara isteri mereka bercadar.

Padahal, tak semua orang berciri seperti itu mempunyai pemahaman sama dengan pelaku teror. Jamaah Tabligh misalnya, meski berjubah, berjenggot dan bercelana panjang ngatung, mereka justru menabukan politik dan kekerasan. Beberapa aparat militer, polisi dan intelijen justru banyak bergabung dengan kelompok dakwah yang sering datang ke masjid-masjid di berbagai daerah untuk mengajak salat dan bertaqwa kepada Allah.

Sikap dan Kecaman Ummat Islam

Karena sikap aparat kepolisian dan militer yang membangun image buruk kepada ummat dan mencurigai kaum muslimin itulah, para tokoh prganisasi massa, partai, ulama, kiai dan tokoh ummat angkat bicara. Semua menyesalkan langkah polisi yang akan memantau dakwah dengan Operasi Cipta Kondisi dan menebarkan kecurigaan kepada ummat Islam yang justru taat beribadah.

Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin, menyesalkan kecenderungan polisi menangkap orang yang diduga teroris atas dasar kecurigaan. Apalagi kecurigaan itu hanya karena tampilan fisik seperti jenggot, sorban, dan rajin ibadah. “Aparat jangan ngawur,” ujarnya. Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu, tak ada yang salah dengan jenggot, sorban, celana ngatung dan rajin ibadah. Semua itu hak beribadah warga negara Indonesia dan dianjurkan dalam Islam.

Ketua PP Muhammadiyah Din Samsuddin pun mengingatkan agar polisi tidak sembarangan dalam memburu teroris. Maklumlah, Muh Djahri sebagai salah seorang kader Muhammadiyah sudah kena dampaknya. Ia ditangkap dan diperiksa polisi karena membolehkan orang asing yang ternyata Ibrohim, menginap dirumahnya. Akibatnya, rumah Muh Djahri hancur lebur dihajar peluru dan bom Detasemen 88. “Jangan sampai operasi anti teror berubah menjadi teror baru bagi ummat Islam,” ujarnya saat mengunjungi Muh Djahri di Temanggung pekan lalu.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Hasyim Muzadi juga mengingatkan polisi dan aparat keamanan agar tidak memberantas terorisme di Indonesia dengan cara Amerika Serikat, yang cenderung memerangi negara tempat para teroris hidup. "Indonesia harus memberantas terorisme dengan cara Indonesia sendiri, bukan meniru AS dengan gaya perangnya,” kata Kiai Hasyim. Sebab menghadapai terorisme dengan kekerasan menurut dia justru akan menimbulkan terorisme baru.

Kecaman juga datang dari Ketua Front Pembela Islam Habib Riziq Shihab. Menurut dia, Operasi Cipta Kondisi guna meminimalisir dakwah yang dianggap provokatif adalah bentuk teror dan intimidasi yang melecehkan dakwah. “Ini gaya Orde Baru yang melanggar HAM dan konstitusi terkait kebebasan menjalankan ibadah,” kata Habib Rizieq kepada Suara Islam.

Menurut Habib Riziq, polisi tak punya tolok ukur dalam memantau dakwah karena tidak memahami hakekat dakwah. “Jika dibiarkan, Polri akan makin sewenang-wenang,” ujarnya. Selama ini polisi menangkapi anggota Jamaah Tabligh dan mendeportasi mereka. Padahal mereka mengedepankan kelembutan dan kesantunan. “Mestinya yang dideportasi itu turis asing yang suka pakai ‘kancut dan kutang’ di depan umum karena merusak moral,” kata Habib Rizieq.

Politisi pun bersuara nyaring. Wakil ketua FPP DPR Lukman Hakiem menilai, jika operasi pemantauan dakwah digelar, berarti polisi mengulang cara Orde Baru. “Polisi telah mendefinisikan dan menganggap Islam sebagai teroris yang harus diawasi. Ini sangat keliru. Ini kebijakan sesat dan tak beralasan. Karena itu harus ditolak,” ujarnya. Menurut dia, polisi sedang memainkan bola panas dengan mencurigai Islam. Jika dakwah Islam diawasi, tidak mustahil besok polisi akan mengawasi sektor kehidupan yang lain, termasuk kebebasan pers.

Anggota FPKS DPR Almuzammil Yusuf meminta Presiden SBY segera meluruskan statemen polisi agar pemerintahannya tidak dinilai mengulang cara Orde Baru dalam mengatasi masalah. “Pak SBY harus berbicara untuk meluruskan isu yang berkembang ini,” ujarnya. Jika tidak, hal ini akan sangat merugikan citra pemerintahan SBY. Apalagi SBY- Boediono didukung partai-partai religius nasionalis seperti PKS, PAN, PKB, dan PPP.

Almuzammil juga mengaku khawatir terhadap dampak peringatan Polri dan komentar miring Pangdam Diponegoro terhadap dakwah, jubah dan jenggot. Ia menengarai, umat Islam akan takut dengan dakwah dan masjid. Selain itu, “Jangan-jangan nanti pembinaan Polri dan TNI akan jauh dari masjid seperti masa Orba dulu. Yang dekat dengan dakwah dan masjid bisa kondite buruk, berarti karir mereka akan terancam,” paparnya.

Pengawasan dakwah untuk mengantisipasi aksi terorisme dinilai Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai cara yang tidak tepat dan mubazir. Sebab dakwah bukan cara yang bisa memengaruhi seseorang melakukan teror. Teknik yang dipakai teroris adalah brainwashing, bukan ceramah umum. “Karena itu, mengawasi dakwah adalah pilihan yang cenderung mubazir. Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Minggu (23/8).

Adapun pengamat intelijen Wawan H Purwanto berharap, pemberantasan terrosime tidak menyinggung almamater tempat pendidikan, karena penyebutan itu justru memancing teror baru. “Saya mendapati kelompok yang sebenarnya tidak terkait dengan terorisme menjadi tergerak ketika mereka dikait-kaitkan dengan aksi terorisme,” ujarnya.

Sedangkan Direktur An Nasr Institute, Munarman, mengingatkan bahwa pengawasan polisi terhadap dakwah dan kecurigaan terhadap ummat Islam akan berpotensi negatif. “Hal itu dapat berimplikasi buruk terhadap stabilitas keamanan karena bisa menimbulkan kesalahpahaman di antara masyarakat," ujarnya.

Kisah Daud, Karsiti, Suroso dan Yayan

Kecurigaan berlebihan di tengah masyarakat terhadap lelaki berjubah, berjenggot dan bercelanan ngatung serta perempuan bercadar, seperti yang diserukan aparat keamanan memang telah terjadi. Di Serang, Banten, sepasang suami isteri bernama Daud yang berjenggot, berjubah dan bercelana ngatung, serta Karsiti yang bercadar, ditangkap masyarakat dan diserahkan ke Polsek Cikande, Rabu 19 Agustus lalu.

Kejadian bermula ketika Daud dan Karsiti salat Ashar di Masjid Al-Barokah, Kampung Kandinding, Desa Kibin, Kecamatan Kibin, Serang. Melihat kedua orang asing itu, aparat desa lalu menanyai identitas mereka. Namun, karena gugup dan ketakutan, keduanya tampak bingung dan menjawab berbelit-belit. Saat diperiksa KTP-nya, Daud bernama asli Karmin. Di KTP yang dikeluarkan di Bekasi itu, Daud dan Karsiti tercatat kelahiran Cilacap.

Menurut Sekdes Kibin, Juhdi, Daud bertinggi badan sekitar 160 cm, berjenggot, berpeci putih, berbaju koko dan bercelana panjang ngatung. Sementara Karsiti memakai jilbab dan cadar hitam. Mereka juga membawa dua orang anaknya yang masih kecil. Saat ditanya hendak ke mana, Karsiti pun kebingungan. “Saya dari Bekasi, nggak tahu nih suami saya mau ke mana,” ujarnya. Keduanya lalu dibawa ke markas polisi untuk diinterogasi.

Setelah sempat memeriksa beberapa jam, Polsek Cikande melepaskan sepasang suami istri yang mengenakan celana ngatung dan bercadar serta membawa dua anak itu. Kecurigaan bahwa keduanya termasuk anggota jaringan “teroris” tidak terbukti sama sekali. “Sudah kita perbolehkan pergi semalam sekitar pukul 23.00 WIB,” kata Kapolsek Cikande AKP Budi.

Sementara itu, Soroso (38 tahun) warga Magetan, Jawa Timur, yang tinggal di Rawa Badak, Jakarta Utara diusir tetangga kontrakannya karena disangka teroris. Warga curiga ia anggota teroris karena rumah kontrakannya sangat tertutup. Untuk masuk ke rumahnya saja, Soroso selalu masuk lewat jendela samping. "Saya pernah pergoki dia bawa sepeda lewat jendela. Itu kan aneh," kata Endar, warga yang ikut membekuk Soroso.

Pintu kontrakan satu kamar itu jika ditinggal Soroso selalu dipasangi rantai besi dan digembok baja secara berlapis. Tindakan Soroso yang paling membuat warga curiga, pintu itu juga dililit kawat dan terhubung dengan saklar listrik. "Lihat saja mas, cuma punya TV kecil saja digembok baja, dan kabel-kabel yang ada setrumnya," ujar Endar. Sementara, kontrakan yang baru ditempati lima bulan oleh Soroso itu dekat dengan tembok Depo Pertamina.

Warga pun kesal ketika lampu kontrakan padam gara-gara daya listrik tersedot ke kabel-kabel itu. Warga dan polisi lalu membekuk Soroso dan menyeretnya ke Polsek Koja. Saat diinterogasi, ia mengaku mengaliri setrum untuk keamanan. “Saya pernah kehilangan gembok,” ujarnya. Menurut Endar, perilaku Suroso memang aneh. “Masa, kalau mau mandi ke kamar mandi umum, dia nunggu orang sepi baru ke luar rumah,” ujarnya. Padahal, bukan tak mungkin lelaki malang itu justru menderita paranoia atau gangguan jiwa lainnya.

Sebelumnya, Densus 88 telah meringkus Suryana alias Yayan alias Gepeng, warga Kelurahan Tugu Selatan, Koja, 5 Agustus lalu. Semua ia disebut sebagai calon pengantin untuk misi bom bunuh diri kelompok Noordin M Top. Tapi belakangan Yayan dilepas karena keterkaitannya dengan jaringan Noordin tidak terbukti. “Masa orang melambai kayak bencong gitu mau jadi pembom bunuh diri,” kata seorang wartawan setelah mewawancarai lelaki itu.

Cuma Meniru Cara SBY

Maka ketika Kapolri berupaya membersihkan diri dari kesalahan yang sangat fatal, masyarakat menilai ada hal yang tersembunyi di balik semua itu. Apalagi, polisi lalu menuduh pers telah memutarbalikkan berita tentang pengawasan dakwah dan dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memojokan polisi. Padahal, semua media datang dalam konferensi pers Kadiv Humas Mabes Polri. Bahkan berbagai media elektronik menyiarkan penjelasan Nanan tentang pemantauan dakwah itu berkali-kali dengan utuh.

Tampaknya polisi sedang meniru cara berkelit SBY setelah pidatonya pasca pemboman di hotel JW Marriott dan Riz Charlton 17 Juli lalu dikecam dan dinilai main tuding oleh lawan-lawan politiknya. Beberapa hari setelah pidato di halaman Istana Negara, SBY dan punggawanya mengatakan, pers telah mengutip dan memutar-balikkan pidatonya. Padahal beberapa televisi menyiarkan pidato SBY secara live, sementara media cetak memuat seluruh isi pidatonya.

Kini polisi pun memakai jurus cuci tangan dan buang badan untuk menyelamatkan diri. Sebab, tak hanya partai politik, organisasi massa Islam, tokoh masyarakat, ulama dan kiai yang mengecam polisi. Kepala BIN Syamsir Siregar dan Menkopolkam Widodo AS pun sempat mempertanyakan konferensi pers Nanan. “Ngapain kayak gitu diumum-umumkan, bego bener, sih,” kata seorang sumber suara Islam mengutip komentar Syamsir.

Belakangan, meski SBY sangat terusik dengan ancaman bom, seorang sumber di Cikeas menceritakan bahwa SBY kesal atas rencana Operasi Cipta Kondisi yang akan digelar polisi. Sebab dengan operasi itu muncul kesan bahwa SBY berupaya mengembalikan suasana Orde Baru dengan membuat garis perlawanan dengan ummat Islam. Apalagi dengan tudingan pro neoliberal, pro Amerika Serikat dan membolehkan berdirinya Kamar Dagang dan Industri Israel di Indonesia. “Padahal, Bapak kan ingin merangkul ummat,” kata sumber tadi.

Ketika mendengar berita di media tentang rencana polisi mengawasi dakwah, Menteri Agama Maftuh Basyuni sempat terkejut. Ia sempat menanyakan masalah itu ke Kapolri. “Saya berterimakasih karena polisi tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang," ujarnya. Menurut Maftuh, bangsa Indonesia sudah cukup dengan pengalaman di masa Orde Baru yang sangat tidak mengenakan. “Sekarang kita hidup di jaman bebas,” ujarnya.

Karena itu, jangan ngawur dong, Pak Polisi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar