Sabtu, 26 September 2009

CATATAN UNTUK IKHWAH YANG BERJUANG LEWAT PARTAI

Tidak diragukan bahwa setiap muslim yang masih mempunyai kepedulian terhadap islam pasti menginginkan islam kembali berjaya, menjadi sebuah sistem dan undang-undang yang mengatur kehidupan individu maupun masyarakat. Berbagai macam cara untuk itu pun dilakukan, baik dengan kekerasan maupun non kekerasan. Terlepas manakah cara yang benar, mendirikan partai politik Islam sebagai wadah perjuangan menegakkan syariát Islam merupakan cara yang dianggap sesuai pada zaman sekarang oleh banyak aktivis Islam. Dengan partai ini mereka akan bertarung dengan partai-partai sekuler penolak syari’at Islam di atas panggung parlemen dengan pemilu sebagai aturan mainnya. Bahkan, sebagian mereka menganggap hanya dengan cara inilah Islam dapat kembali berjaya.

Terlepas apakah cara ini dibenarkan dari segi syariát atau tidak, ada beberapa catatan bagi anda yang berjuang melalui partai Islam dalam menegakkan syariát Islam, Anda harus memperhatikan dan merenungkannya lama-lama:

1. Sebagaimana kita ketahui, aturan main dalam pertarungan ini ditentukan bukan oleh kalangan partai Islam, tetapi oleh pesaing kita dari kalangan orang-orang sekuler (nasionalis) penolak syariát Islam yang sedang berkuasa saat ini. Sebagai pembuat aturan main, tentu saja mereka lebih tahu dan lebih pintar dalam menggunakannya, bahkan dengan leluasa dapat menekak nekuknya sesuai selera mereka. Karena itu, anda sebagai aktivis partai Islam harus berlatih super keras agar lebih lihai dan cerdik, sehingga anda dapat mengalahkan mereka melalui cara yang mereka sendiri tentukan. Sebagai analogi yang mudah, anda sedang bertarung dengan macan dengan cara yang ditentukan macan itu: pakai taring dan cakar. Tentu saja, untuk mengalahkan lawan anda, taring dan cakar anda harus lebih ganas dan tajam. Karena itu anda harus berlatih super keras untuk menajamkan serta menguatkan taring dan cakar anda.

Bagi kami, tentu saja pekerjaan ini sangat berat. Karena itu, sangat lebih baik bila kita menggunakan cara kita sendiri menurut apa yang sudah digariskan dalam Al-Qurán dan As-Sunnah. Namun, bila anda tetap berjuang melalui partai politik, konsekusensinya adalah anda harus rela berberat-berat membuat taring dan cakar anda lebih kuat dan tajam daripada taring dan cakar macan. Bila tidak, partai Islam akan selalu menuai kekalahan. LLL

2. Sebagai konsekuensi dari perjuangan lewat pemilu, bila partai Islam anda kalah dan pihak sekuler nasionalis yang mendapatkan suara terbanyak, maka umat Islam harus memberikan kepatuhannya kepada mereka. Tentu saja, dilihat dari segi syariát hal seperti ini sama sekali tidak boleh terjadi. Umat Islam tidak boleh mengakui orang diluar mereka sebagai pengusa yang sah bagi mereka, meski menang mutlak melalui pemilu. Karena itu, tugas anda sebagai aktivis partai politik yang ikut meramaikan pemilu adalah menjelaskan kaum muslimin akan hakekat ini.

Hal ini bukan pekerjaan tanpa resiko yang berat. Sebab, menurut aturan main dalam sistem pemilu, pihak yang kalah harus tunduk kepada pihak yang menang. Bila tidak, mereka akan dianggap pengkhianat. Ketika partai Islam mengalami kekalahan, mereka tentu bagai makan buah simalakama: bila mereka tunduk kepada pihak pemenang yang tak lain adalah partai sekuler yang tentu saja bukan Islam, berarti mereka melanggar syariát yang melarang orang muslim tunduk kepada orang di luar Islam, termasuk orang sekuler; bila mereka tidak mau tunduk kepada orang-orang sekuler yang menang itu, niscaya cap pengkhianat akan dilekatkan pada mereka.

Namun, anda sebagai aktivis muslim, meskipun berjuang lewat partai, dan meskipun partai anda kalah, anda tetap harus memilih Allah dan Rasul-Nya mengikuti syariát yang Ia tetapkan dan tidak melanggarnya.

Bagi para ikhwah yang berjuang bukan lewat partai, tentu saja hal ini bukan menjadi masalah, sebab kalaulah partai sekuler menang, mereka tetap tidak harus mengakuinya sebagai penguasa.J

3. Sebagai efek dari ikut sertanya aktivis muslim dalam pemilu, banyak umat Islam kehilangan tolok ukur hakiki (syariát) dalam menimbang manakah yang layak dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang pantas dikuti dan mana yang tidak, mana yang sah menjadi penguasa dan mana yang tidak. Sebagai gantinya, mereka menjadikan ‘suara mayoritas’ sebagai barometer. Padahal tidak semua pendapat mayoritas itu benar, layak dan pantas diikuti. Bila seorang dokter memberi obat tertentu kepada anak anda yang sedang sakit, tapi seribu tukang pakir menyatakan tidak setuju, siapakah yang akan anda ikuti? Seorang dokter atau seribu tukang pakir? Bila pembuat pesawat terbang mengeluarkan buku panduan dalam perawatan pesawat terbang dan di saat yang sama seribu tukang becak juga membuat bukuan panduan lain tentang itu, manakah yang akan anda gunakan? Bila Pencipta manusia yang tahu tentang selak beluk manusia membuat suatu aturan untuk mereka, sementara mayoritas rakyat yang sangat tidak lebih tahu dari Pencipta mereka juga membuat aturan lain untuk diri-diri mereka, mana yang akan anda ikuti? Hakekat ini wajib anda jelaskan kepada umat, agar mereka tetap berada di atas tolok ukur yang benar, tolok ukur syariát, bukan ‘suara mayoritas’.

Bila seluruh aktivis Islam tidak ikut pemilu dan berjuang di luar panggung demokrasi, baik dengan dakwah ataupun jihad, efek yang timbul akan lebih baik: umat Islam akan paham bahwa Islam memang tidak pernah mengenal demokrasi dengan pemilu sebagai aturan mainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar