Sabtu, 26 September 2009

Dilema Ikhwan di Antara Penangkapan dan Politik Praktis

Ikhwan dan Mesir berpacu dengan waktu. Pemilu 2010 sudah di hadapan, dan bagaimana pilihan Ikhwan—kembali terjun dalam dunia politik praktis dalam tekanan penguasa yang opresif?

Saat ini Ikhwan tengah mengalami kondisi yang sangat sulit. Penangkapan demi penangkapan terus dilakukan terhadap anggota Ikhwan tak kenal henti, dengan berbagai tuduhan seperti “jaringan internasional dari organisasi yang bersel”, “organisasi yang melatih para jihadis di Chechnya”, “membiayai organisasi terlarang’, dan sebagainya.

Walaupun anggota Ikhwan dihukum penjara, namun mereka masih tetap bisa mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Tahun 2005, Ikhwan memenangkan 88 kursi parlemen, seperlima dari parlemen nasional—dan membuatnya menjadi blok oposisi terbesar Mesir.

Penangkapan-penangkapan ini jelas menjadi suatu ujian yang sulit. Bahkan tahun ini merupakan salah satu penangkapan anggota Ikhwan yang demikian intensnya. Mulai dari Ibrahim Al-Katitani, Hussein Ibrahim, yang bergerak di parlemen dan Abdel Menaam Abou Al-Fotouh, sekjen Serikat Doktor Arab.

Beberapa juru bicara Ikhwan mengatakan bahwa target besar penangkapan ini sebenarnya Mursyid Aam Ikhwan, Mahdi Akif. Orang-orang di sekeliling Akif satu per satu sudah kena jerat.

Akankah di tengah penangkapan dan penjara itu membuat Ikhwan akan tetap menerjunkan diri dalam politik? Ikhwan akan mempertimbangkan keterlibatan dalam pemilu 2010 berdasarkan tiga faktor: Format legal pemilu, status hukum yang jelas, dan kehendak rakyat Mesir secara umum.

Untuk isu yang pertama, amandemen konstitusi tahun 2007 telah mengeluarkan Ikhwan dari sistem pemilu, bahwa sistem pemilihan Mesir adalah "Partai politik tidak boleh berdasarkan prinsip agama."

Pada poin kedua, amandemen telah meminggirkan kekuasaan hukum dari pengawasan pemilu secara langsung, menggantikan hakim, dengan sebuah komisi pemilihan khusus yang berada di bawah kendali pemerintah. Sepertinya Ikhwan tak ingin lagi terjebak pada pemilihan ketua parlemen seperti tahun 2008, di mana Ikhwan akhirnya tidak punya pilihan lain selain memboikot pemilu tersebut.

Isu yang ketiga—kehendak rakyat banyak—adalah isyarat dari rakyat yang memang mendukung Ikhwan. Saat ini beberapa pihak menyatakan kekecewaannya kepada sikap yang tidak tegas dan seperti cenderung berdiplomasi terus-menerus. Misalnya saja Ikhwan tidak jelas apakah mendukung demokrasi ataukah tidak. Setuju dengan presiden perempuan dan non-Muslim dan sebagainya. Padahal yang ditunggu rakyat Mesir selama ini dari Ikhwan adalah ketegasan sikap mereka seperti yang selalu mereka tunjukan sebelum pemilu 2005 lampau.

Namun, dengan kejadian penangkapan itu, banyak pula yang mengerti mengapa Ikhwan akhirnya cenderung memilih jalan kompromi. (sa/ Global Geopolitics)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar