Sabtu, 26 September 2009

Kepemimpinan Negara dalam Islam

Menduduki jabatan kursi kepala negara dilakukan setelah adanya kesepakatan, nota kesepahaman, kontrak maupun aqad antara rakyat dengan pemimpin.

Dari Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.


a. Tanggung Jawab Kepala Negara

Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa kepala negara punya tugas dan wewenang tertentu. Hak rakyat terhadap kepala negaranya adalah mengevaluasi kerja dan tugas kepala Negara. Bila terbukti melakukan kesalahan dan kegagalan dalam kepemimpinannya, karena rakyatlah yang telah mengangkat dan membai’atnya guna menduduki jabatan tersebut. Sebagai konsekwensi dari pengangkatan dan pembai’atan itu, berarti seorang kepala negara diamanahkan tugas-tugas yang harus ditunaikannya. Bila tugas yang diamanahkan tersebut berhasil dijalankan dengan baik, maka selaku rakyatpun dituntut memberikan dukungan, bantuan dan loyalitas penuh terhadap kepala negara tersebut.

Imam Hasan Al-Banna menyatakan dalam salah satu dari sepuluh rukun bai’at yaitu rukun pertama al-fahm, bahwa pendapat dan pandangan imam atau kepala negara maupun wakilnya dalam perkara yang tidak ada nash yang berbicara tentang perkara tersebut, pandangan yang berpeluang memiliki banyak interpretasi dan pemahaman serta permasalahan yang terkait dengan mashlahah mursalah, maka pendapat dan pandangan tersebut wajib ditaati dan dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at.

Mengenai pertanggung jawaban kepala negara terhadap Allah dan terhadap rakyat yang telah membai’atnya, serta kedudukan kepala negara sebagai pelayan yang digaji oleh rakyat, Imam Hasan Al-Banna berdalil pada hadits Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM yang berbunyi:

كُلّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلُوْنَ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
Artinya: Masing-masing kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban kepemipinannya tersebut.

Dan ungkapan Abu Bakar yang berbunyi:

أَيُّهَا النَّاسُ كُنْتُ أَحْتَرِفُ لِعِيَالِيْ فَأَكْتَسِبُ قُوَّتَهُمْ، فَأَنَا اْلآنَ أَحْتَرِفُ لَكُمْ، فَافْرِضُوْا لِيْ مِنْ بَيْتِ مَالِكُمْ .
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya dulu aku bekerja sendiri (berusaha) demi menghidupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang aku berkerja pada kalian, maka hendaklah kalian ambilkan sedikit (upah) buatku dari baitul mal.

Ini merupakan semacam kesepakatan dan kontrak kerja antara rakyat dengan pemimpinnya agar menjalankan kewajiban dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan umum, sehingga jika sang pemimpin tersebut mengerja-kan tugasnya secara baik dan profesional, maka dia berhak mendapatkan ganjaran (kompensasi), sementara jika dia melalaikan tugasnya, maka dia pun berhak mendapatkan hukuman .

Menurut hemat penulis, menduduki jabatan kursi kepala negara dilakukan setelah adanya kesepakatan, nota kesepahaman, kontrak maupun aqad antara rakyat dengan pemimpin. Aqad ini tentu berbeda dengan transaksi jual beli maupun bisnis, karena dalam transaksi jual beli maupun bisnis, transaksi antara pembeli dan penjual dinyatakan telah selesai dan sah dengan adanya aqad dan pertukaran barang secara langsung. Tapi aqad dan nota kesepahaman antara pemimpin dengan rakyatnya lebih identik dengan transaksi perwakilan yang terikat oleh beberapa syarat dan ketentuan. Ketentuan tersebut bertujuan supaya kepala negara melaksanakan tugas-tugasnya dengan profesional, baik menyangkut mengatur urusan dalam maupun luar negeri, mewujudkan kepentingan bersama umat Islam serta melindungi aset kekayaan, kehormatan dan nyawa para rakyatnya. Puncak dari tugasnya adalah penerapan hukum syari’at Islam dalam segenap aspek kehidupan. Dan sebagai konsekuensinya, setiap rakyat wajib mentaati, membantu dan menyokong kepemimpinannya.

Untuk itu, rakyat selaku pemberi kewenangan dan kepala negara selaku wakil atau yang ditugaskan menjalankan kewenangan, jika kepala negara mengerjakan tugasnya secara profesional dan seoptimal mungkin, maka jabatannya sebagai kepala negara tentu bisa bertahan lama di atas dukungan, bantuan dan ketaatan rakyatnya. Sementara bila kepala negara tidak menjalankan wewenang yang telah diamanahkan rakyat serta tidak sanggup mewujudkan kepentingan dan kebutuhan rakyat, maka rakyat berhak mencopot dan memberikan wewenang pada orang lain yang berhak dan punya kapabilitas untuk memimpin negara .

b. Pelimpahan Wewenang Kepala Negara kepada Pihak Lain

Di antara pemahaman fiqih politik yang dianut oleh Imam Hasan Al-Banna bahwa seorang kepala negara mempunyai tugas dan wewenang tertentu. Tugas-tugas ini mesti ditunaikan oleh kepala negara yang akan dievaluasi oleh rakyat selaku konstituen yang memberikan amanah kepemimpinan. Bila tugas ditunaikan niscaya sang kepala negara akan menuai dukungan dan sokongan dari rakyatnya. Sebaliknya, jika gagal menjalankan kepemimpinan, rakyat berhak meluruskan bahkan melengserkannya dari jabatan. Sistem ini telah diterapkan semenjak kepemimpinan era Khulafaurrasyidin yakni, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Demikian pula di era pemimpin umat Islam yang terkenal dengan keadilannya seperti Umar bin Abdul Aziz.

Selain itu, Imam Hasan Al-Banna juga membolehkan bagi seorang kepala negara melimpahkan wewenangnya kepada salah seorang yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai kepala negara dan diyakininya mampu menjalankan wewenangnya sebagai kepala negara. Seperti kepemimpinan perdana menteri yang terdapat di berbagai negara sekarang. Pendapat Beliau ini disandarkan pada pandangan tokoh-tokoh politik Islam terkenal sekaliber Al-Mawardi Asy-Syafi’i yang meninggal dunia tahun 450 H, serta pandangan politik Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hanbali yang meninggal dunia tahun 458 H.

Imam Hasan Al-Banna berpedoman pada buku karangan Al-Mawardi Asy-Syafi’i yang berjudul Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayaat Ad-Diniyyah. Beliau mengutip pandangan politik Al-Mawardi yang membolehkan pelimpahan wewenang kepala negara kepada seorang perdana menteri selaku pelaksana tugas sebagai berikut: “Pemerintahan perdana men¬teri yaitu suatu bentuk pelimpahan wewenang seorang kepala negara terhadap seorang perdana menteri yang akan menjalankan urusan pemerintahan di bawah pengawasan dan persetujuan langsung dari kepala negara. Pola pemerintahan seperti ini sah menurut Islam. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan permintaan nabi Musa AS dalam Qur’an Su¬rah Thaha ayat 29-32 yang berbunyi:

(وَاجْعَلْ لِي وَزِيْراً مِنْ أَهْلِي. هَارُوْنَ أَخِيْ. اشْدُدْ بِهِ أَزْرِيْ. وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِيْ) [طه: 29-32]
Artinya: Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia teman dalam urusanku.

Jika model dan pola seperti di atas disahkan dalam wilayah kenabian, maka sudah barang tentu lebih dilegitimasi lagi dalam urusan pemerintahan. Ketika seorang kepala negara melimpahkan sebagian urusan kenegaraan kepada perdana menterinya, karena ketidaksanggupan kepala negara menghendel tugas tersebut secara pribadi tanpa bantuan orang lain, maka roda pemerintahan menjadi semakin lancar daripada ia harus berpikir dan bekerja sendiri. Selain itu, keuntungan lain yang diperoleh adalah menutup peluang terjadinya banyak kekeliruan dan kegagalan dalam perjalanan roda pemerintahan” .

Imam Hasan Al-Banna berkata: “Tidak ada larangan dalam Islam bila seorang kepala negara melimpahkan wewenangnya kepada perdana menteri untuk menangani langsung urusan-urusan rakyat, sebagaimana fakta yang banyak disaksikan di beberapa pemerintahan negeri-negeri Islam. Para ulama fiqih juga telah memberikan rukhsah (dispensasi) dan keringanan selama demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Dan kaidah yang digunakan dalam situasi dan kondisi semacam ini adalah melindungi kemaslahatan umum” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar