Sabtu, 26 September 2009

Dakwah tauhid, Tuntutan dan Realitanya

Oleh: Abdul Rahman Al-katib

Kita menyadari bahwa alam semesta dan jagad raya tidak akan terwujud begitu saja tanpa adanya tujuan yang jelas untuk apa mereka diciptakan. Demikian pula ketika kita merenungi tentang keberadaan manusia di muka bumi, pastilah akan muncul pertanyaan dalam diri kita seperti, Untuk tujuan apa bumi ini dijejali oleh 2 milyar jiwa manusia?’ atau yang lebih sederhana lagi, ’Untuk apa manusia diciptakan?’

Ini adalah pertanyaan lumrah, dan manusia pun berusaha menjawabnya dari waktu ke waktu demi mencapai kebahagiaan hidup dan ketentraman jiwa. Dari proses menjawab pertanyaan tersebut, muncullah berbagai paham, isme-isme dan berbagai hasil karya pikir manusia.

Antara Ajaran Allah (Tauhid) dan Ajaran Iblis (Syirik)

Anehnya, berbagai produk pikir manusia untuk menjawab tentang keberadaan mereka dimuka bumi, justru semakin bertabrakan dengan sifat fitrah mereka sebagai makhluk ciptaan Allah. Bahkan, tak jarang hasil pemikiran itu menggerus hak-hak Allah terhadap manusia.

Agama Kristen misalnya, mereka melihat manusia sebagai anak-anak Allah yang menimbulkan konsekuensi, setiap penganut agama Kristen tidak perlu takut akan dosa atau neraka. Karena mereka beranggapan bahwa dosa mereka telah tertebus dengan memasuki agama Kristen. Konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen pun begitu membingungkan dengan munculnya keyakinan trinitas, tiga tuhan dalam satu tubuh manusia.

Demikian pula dengan tradisi Hindu yang meyakini adanya berbagai tuhan yang mengendalikan manusia. Anehnya, eksistensi ketuhanan tersebut tidak lepas dari sifat-sifat manusia yang sangat tidak tepat jika disematkan kepada Tuhan. Seperti kasus menikahnya Dewa-Dewa dengan manusia, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di tempat pertapaan layaknya sebuah prosesi zina yang takut jika ketahuan.[1]

Ketika zaman telah berganti dan manusia mulai semakin berpikir kritis, muncullah agama dan isme-isme baru produk pikir manusia, yang pada akhirnya juga mendestruksi sifat fitrah manusia, dan—secara lancang—merusak hak-hak Allah ta’ala terhadap manusia.

Tersebutlah agama-agama seperti Liberalisme yang memandang bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan pilihannya, yang berkonsekuensi pada pemahaman yang menihilkan kekuasaan dan pilihan Ilahi atas diri manusia. Dari pemahaman liberalis inilah, muncul Komunisme yang begitu lancangnya menghilangkan keberadaan Allah ta’ala di alam semesta ini.

Dari rahim liberalisme ini pula, lahir Kapitalisme, yang memandang bahwa kekuasaan dan harkat martabat manusia dilihat dari seberapa besar modal yang ia miliki. Selain itu, muncul pula agama Demokrasi yang memandang bahwa suara manusia (rakyat) adalah suara Tuhan, yang berkonsekuensi pada hancurnya tatanan hukum Allah, untuk diganti dengan tatanan hukum kesepakatan manusia.

Dengan kata lain, Demokrasi justru mempertuhankan manusia. Seandainya kita mau sedikit merenungi hal ini, kita akan menemukan adanya keterkaitan antara agama-agama baru tersebut.

Demikianlah, kita dapat melihat adanya panggung kesesatan yang dipertontonkan oleh pola pikir manusia yang tidak dibimbing wahyu Ilahi. Dengan kata lain, mereka hanya terombang-ambing oleh nafsu. Untuk kemudian disesatkan oleh ajaran-ajaran Iblis.

Seandainya mereka mau melihat bagaimana Allah ta’ala memberi petunjuk yang menjawab tentang tujuan diciptakannya manusia di muka bumi, pastilah mereka akan menemukan kebahagiaan hidup dan ketenangan jiwa dalam perlindungan Sang Pencipta manusia.

Kita dapat mencermati petunjuk-Nya dalam Islam, yakni firman-Nya:

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdikan hidupnya (beribadah) kepada-Ku” (Adz-Dzâriyât: 56)

Subhanallah! Sebuah jawaban yang jelas lagi menyelesaikan perdebatan yang berlangsung selama berabad-abad, yang menunjukkan sebuah jurang perbedaan nyata antara ajaran Allah yang mengajarkan adanya prinsip Tauhid[2], yang memberikan porsi yang semestinya terhadap hubungan timbal balik antara Allah ta’ala dengan manusia dan ajaran Iblis yang memberikan konsep-konsep rusak yang menghancurkan hubungan antara Allah ta’ala dengan manusia.

Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah bersabda, sebagaimana yang disebutkan oleh Mu’adz bin Jabal a, “Aku membonceng Nabi n diatas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba-Nya atas Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Adapun hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak meng-adzab siapa saja yang tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya’….”(H.R Bukhari-Muslim)

Sebuah jawaban tegas bahwa kita diberi hak hidup oleh Allah ta’ala, hanya demi mengabdi kepada-Nya dan menyerah-bakti kan seluruh umur kita untuk menjalankan segala keinginan dan perintah-Nya.

Untuk inilah kita diciptakan dan demi tujuan inilah dunia dan alam semesta diadakan, sebagai sarana untuk mendukung pelaksanaan tugas ibadah ini. Bukan justru menjadikan dunia sebagai sesuatu yang disembah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (sarana ibadah) kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah [2]: 29)

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (Faathir [35]: 5)

Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita perbedaan antara ajaran Allah, yakni tauhid dengan ajaran Iblis yaitu syirik, kita pun dapat dengan mudah mencermati bahwa modus ajaran Iblis paling tidak adalah hal-hal berikut:

1. Melecehkan hak-hak Allah ta’ala

Seringkali terbagi ke dalam dua bentuk:

- Mempersekutukan Allah dalam hak-hak-Nya serta asma’ dan shifat-Nya.

- Meniadakan keberadaan Allah ta’ala

2. Menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan

Umumnya terwujud dengan adanya eksploitasi nafsu dan kesombongan manusia. Hal inilah terwujud pada anggapan bahwa manusia adalah segala-galanya, sehingga memunculkan pemahaman seperti liberalisme, Demokrasi, Komunisme dan sebagainya.

3. Menjadikan dunia sebagai sesembahan

4. Melalaikan hari Pembalasan-Nya

Dakwah Tauhid, Kewajiban Ilahiah

Demikianlah, kita telah melihat adanya jurang permusuhan yang lebar antara ajaran Ilahi dan ajaran Iblis, antara tauhid dan syirik. Antara satu dengan yang lain saling berusaha untuk memenangi pertempuran abadi ini. Ajaran syirik dan kekafiran yang dibawa oleh Iblis berusaha keras menyesatkan manusia, sedangkan ajaran Tauhid berusaha keras menyelamatkan manusia dari kesesatan.

Salah satu wilayah pertarungan yang paling menentukan adalah medan dakwah. Oleh sebab itu, inti dakwah para Rasul yang diutus oleh Allah l adalah sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Mengabdilah kepada Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl [16]: 36)

‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut’ Ayat ini secara tegas menunjukkan standar keselamatan hidup di dunia dan akhirat, yakni dengan mengabdi kepada Allah semata dan membenci, memusuhi serta menjauhi thaghut.[3] Sikap tersebut juga menjadi standar keislaman seseorang. Oleh sebab itu, keislaman seseorang belum sah, kecuali ia menjauhi thaghut dan hanya mengabdikan dirinya pada Allahlsaja.

Ajaran dakwah inilah yang membagi manusia menjadi dua jenis, penghuni surga dan penghuni neraka, orang muslim dan orang kafir, ahlu tauhid dan ahlu syirik. Ajaran dakwah inilah yang dijiwai oleh kalimat Lâ ilâha Illa Allah. Sebuah kalimat yang membatalkan segala bentuk ilah yang berhak diibadahi secara benar, kecuali hanya Allah saja.

Sebagai seorang muslim, kita dituntut oleh syariat dan Sang Pembuat Syariat untuk meresapi ajaran tauhid dan mendakwahkan tauhid hingga syari’at Allah tegak di muka bumi. Kewajiban ini tidak bisa lepas dari kita, bahkan walaupun kita hanya mampu menyampaikan satu kalimat dari ajaran Islam.

Rasulullah bersabda, “Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat” (al-hadits). Inilah kewajiban kita, menyampaikan ajaran Allah ta’ala walaupun hanya satu ayat. Karena seluruh sistem moral, akhlak, budaya, tradisi, ekonomi dan politik yang ada pada Islam berlandaskan pada ajaran Allah, ajaran Tauhid.

Dakwah Tauhid, Sebuah Realitas

Kita telah memahami bahwa ajaran tauhid (Laa ilaaha illallaah) ini disepakati oleh semua Rasul, kita pun memahami bahwa dakwah tauhid adalah dakwah yang akan membelah manusia menjadi dua; para pendukung ajaran/syariat Allah atau para pendukung ajaran/syariat Iblis.

Hal ini juga terwujud dalam sikap dan perilaku manusianya, bagi pengikut ajaran tauhid pastilah akan tampak sikap yang jelas dalam menyikapi fenomena kehidupan di sekitarnya. Dia seorang manusia yang mudah membebek dan asal-ikut dengan berbagai produk akal pikir manusia, baik berupa kepercayaan, tradisi, budaya, gaya hidup, sistem politik, ekonomi, norma sosial atau yang lainnya.

Dirinya pasti akan selalu bertanya, “Bagaimana Islam bersikap tentang hal ini?” Pilihannya selalu kepada Islam, bukan yang lain. Sikap ini menuntunnya untuk selalu mencintai ilmu dan ulama, sekaligus bersikap tegas dan bertawakal kepada Allah dalam mengamalkan ilmu yang ia miliki.

Tak heran, jika benturan demi benturan pun terjadi dalam dakwah tauhid. Benturan antara seseorang atau sekelompok orang dan lingkungannya yang tidak islami, atau dengan kesesatan yang sebelumnya ia yakini, atau dengan hawa nafsu yang sebelumnya ia ikuti dengan penuh kenyamanan.

Oleh sebab itu, menjadi satu hal yang wajib agar setiap muslim sekaligus da’i ajaran tauhid, untuk tetap sabar-tsabat dan bertawakal kepada Allah ta’ala. Pada saat yang sama ia juga harus menunjukkan sikap dan akhlak seorang da’i semampunya, seperti shiddiq baik dalam perkataan dan perbuatan, sabar, tawadhu’, juga bersikap adil dengan tetap berpijak pada kebenaran baik terhadap kawan atau lawan.

Hal ini penting karena dakwah tauhid hendaknya diemban dengan serius, bukan dengan bermain-main, bukan pula menjadi ajang klaim keshalehan tanpa bersikap adil terhadap umat manusia.



[1] Madza Khasiral ‘Alam bil Inkhithaatil Muslimin oleh Abul Hasan An-Nadwi

[2] Prinsip Meng-Esa-kan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik yang bersifat ritual, tradisi dan budaya, maupun tatanan kesejahteraan hidup manusia, yang meliputi tatanan sosial-ekonomi, politik dan keamanan.

[3] Sebagaimana tercantum pada edisi sebelumnya, thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah baik itu manusia, jin/setan, patung, dukun, isme-isme, hukum buatan, pembuat hukum selain Allah dan sebagainya.-edt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar